Kamis, 24 Desember 2009

karya pramoedya ananta toer


jakarta

Sekarang tiba gilirannya: dia juga mau pergi ke jakarta.

Aku takkan salahkan kau, mengapa kau ingin jadi wargakota jakarta pula. Besok atau lusa keinginan dan cita itu akan timbul juga. Engkau di pedalaman terlampau banyak memandang ke jakarta. Engkau bangunkan jakarta dalam anganmu dengan segala kemegahan yang tak terdapat di tempatmu sendiri. Kau gandrung padanya. Kau kumpulkan tekat segumpil demi segumpil.

Ah, kawan, biarlah aku ceritakan kau tentang jakarta kita.

Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinya aku indjak tanah ibukota ini, stasiun Gambir dikepung oleh del­man. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota —hanya tudjubelas tahun kemudian! Betjak yang menggantikannya. Kuda-kuda diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-manusia menjadi kuda dan sopirnya sekali: begini tidak ada ongkos pem­beli rumput! Inilah jakarta. Demi uang manusia se­dia jadi kuda. Tentu sadja kotamu punya betjak juga tetapi sudah jadi adat daerah meniru kebobrokan ibu­kota.

Bukan salah manusia ini, kawan. Seperti engkau juga, orang-orang ini mengumpulkan tekat segumpil demi segumpil­ perawan-perawan sawah, ladang dan pegunungan, buruh-buruh tani, petani-petani sendiri yang bidang tanahnya telah didih di dalam perasaannya, warga-warga dusun yang dibuat porak poranda oleh gerombolan, peladjar-peladjar yang hendak meneruskan peladjaran, juga engkau sendiri —dan dengan penuh kepertjajaan akan keindahan nasib baik di ibukota.

Kemudian bila mereka sampai di jakarta kita ini, perawan-perawan pedalaman yang datang kemari sekedar tjari makan, dia dapat makan, lupa tjari makan, dia kepingin kesenangan, dan tiap malam berderet di­ depan gedung tempat kerdjanya masing-masing. Pria tidak semudah itu mendapat pekerdjaan, dan achirnya menjadi kuda. Beberapa bulan kemudian paha para pria ini menjadi begitu penuh sesak dengan otot yang ter­lampau banyak dipaksa kerdja. Tiap minggu mereka menelan telur ajam mentah. Dan jalan raja memberinya kemerdekaan penuh. Bila datang bahaja ia lepas betja berjalan sendirian, dan ia melompat ke kaki lima. juga tanggung djawab delman hilang di tangan kuda-kuda ini. Beberapa tahun kemudian ia ‘ngedjengkang’ di balenya karena djantungnya menjadi besar, desakan darahnya meninggi: ia invalid —puluhan! ratusan ribu! kembali ke kampung sebagai sampah. Bila ada kekajaan, adalah kekajaan membual tentang kepele­siran. Tetapi untuk selama-lamanya ia telah mati, su­dah lama mati. Djumlah kurban ini banyak daripada kurban revolusi bakalnya.

jadi engkaupun ingin jadi warga jakarta!

jadi engkaupun ingin jadi sebagian kegalauan ini.

Dari rumah masing-masing orang bertekat mentjari uang di jakarta. juga orang-orang daerah yang kaja mengandung maksud: ke jakarta —hamburkan uang­nya. Dan juga badjingan-badjingan daerah: ke jakarta —menangguk duit. Demi duit ini pula jakarta bangun. Sebenarnya sedjak masuknya kompeni ke jakarta, jakarta hingga kini belum juga merupakan kota, hanya kelompokan besar dusun. Hingga sekarang. Tidak ada tumbuh kebudajaan kota yang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimport dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras dan agama, berbagai matjam agama.

Aku lupa, bahwa kau datang hendak kemari untuk beladjar. Tetapi barangkali patut pula kau jadikan ke­nangan, pusat beladjar daerah kita adalah jakarta. Tetapi sungguh aku sesalkan, bahwa jakarta kita bu­kanlah pusat beladjar yang mampu menjebabkan para mahasiswa ini menjadi perspektif kesardjanaan Indonesia di kemudian hari. Sisa-sisa intelektualisme karena gebukan balatentara Dai Nippon kini telah bangkit kembali dengan hebatnya. Titel akademi yang diperoleh tiap tahun beku dikantor-kantor, dan daerah­mu tetap gersang menginginkan bimbingan. Dan bimbingan itu masih tergantung-gantung djauh di ang­kasa biru. Semua orang asing, dengan warna politiknya masing-masing, yang memberi kauremah-remah dari­pada kekajaan kita terbaik yang diisapnya.

Aku tahu, engkau orang daerah, orang pedalaman memdewakan pemimpin-pemimpinmu, tetapi aku lebih dekat pada kenyataan ini. Aku tahu engkau berteriak­-teriak tentang perekonomian nasional, tetapi basis ke­hidupan yang didasarkan atas perdagangan eksport, bukan sadja typis negara agraria, juga negara kolonial. Sepandyang sedjarah negara-negara petani menjadi negeri djadjahan, dan tetap menjadi negeri djadjahan.

Dan bukankah petani-petani daerahmu masih tetap hamba-hamba di djaman Madjapahit, Sriwidjaja atau Mataram? Siang kepunyaan radja, malam kepunyaan durdjana! Dan radja di djaman merdeka kita ini ada­lah naik-turunnya harga hasil pertaniannya sendiri. Se­dang durdjananya tetap juga durdjana Madjapahit, Sriwidjaja dan Mataram yang dahulu: perampok, pen­tjuri, gerombolan, pembunuh, pembegal.

jadi beginilah, kawan. jakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin ke jakarta. Tapi jakarta sendiri hanya kelompokan besar dusun, bahkan bahasa perhubungan yang masak tidak punya. Anak-anak men­jadi terlampau tjepat masak, karena baji-baji, kanak­-kanak dan orangtuanya digiring ke dalam ruangan­-ruangan yang teramat sempit sehingga tiap waktu me­reka bergaul begitu rapat. Masalah orangtua tak ada yang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan orangtua men­jadi hilang, dan segi-segi yang baik daripada perhubungan antara orangtua dan anak dahulu, kini menjadi tum­pul. Agama telah menjadi gaja kehidupan, bukan perbentengan rohani yang terachir. Aku tjeritai kau, kemarin anakku yang paling amat besar enam umurnya, bertjerita: Orang-orang ini dibuat Tuhan. Tapi apakah randyang ini dibuat olehnya juga? Ia pandangi aku. Waktu kutanyakan kepadanya bagajmana warna Tuhan: hitam ataukah merah? Ia mendjawab Putih! Ia pilih warna yang tidak mengandung interpretasi, tidak di­warnai oleh pretensi. Sebaliknya kehidupan jakarta ini—dan barangkali patut benar ini kau ketahui: penuh-sesak dengan interpretasi dan pretensi ini. Di­ segala lapangan! Lebih mendjengkelkan daripada itu: tiap-tiap orang mau mendesakkan kepunyaannya masing-­masing kepada orang lain, kepada lingkungannya. Sungguh-sungguh tiada tertanggungkan. Barangkali kau pernah peladjari sedjarah kemerdekaan berpikir. Bila demikian halnya kau akan dikutuki tjelaka.

Tetapi dyangan kaukira, bahwa kegalauan ini ber­arti mutlak. Barangkali adanya kegalauan ini hanyalah suatu salahharap daripadaku sebagai perseorangan. Aku seorang pengarang, dan pengarang di masa kita ini, terutama di ibukota kita, adalah sematjam kerbau yang salah mendarat di tanah tandus. Setidak-tidaknya kega­lauan ini memberi rahmat juga bagi golongan-golongan terten­tu, terutama bagi para pedagang nasional, jakni yang berdjualbelikan kenasionalan tanah-airnya dan dirinya. Mungkin engkau tidak setudju. Tetapi barangkali lebih baik demikian. Sungguh lebih menjenangkan bagimu bila masih punya pegangan pada kepertjajaan akan kebaikan segala yang dimiliki oleh tanah-airmu dalam segala segi dan variasinya. Kami golongan pengarang, biasanya tiada lain daripada tenaga penentang, golongan opposisi yang tidak resmi. Resmi: pengarang. Tidak resmi: opposisi periuk terbaik! Dengan sendi­dirinya sadja begitu, karena kami bitjara dengan selu­ruh ada kami, kami hanya punya satu moral. Itu pula sebabnya, bila kami tewas, tewas setjara keseluruhan. Bukannya tewas di moral yang pertama, tetapi menjadi tambun di moral yang keempat! menjadi melengkung di moral yang ketiga!

Aku kira terlampau djauh lantaranku ini. Padamu aku mau bitjara tentang jakarta kita.

Sekali waktu di suatu peristiwa, Omar pernah bitjara dengan sombongnya: Bakar semua chazanah, karena segalanya telah termaktub di dalam Qur’an! Permun­tjulan yang grandiues tapi tak punya kontour-kontour kenyataan ini adalah gambaran kedjiwaan jakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan mo­ral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.

Sekali waktu disuatu peritiwa, Pascal mentjatat di­ dalam bukunya: Manusia hanya sebatang rumput, teta­pi rumput yang berakal budi. Dan rumput ini adalah golongan yang mempunyai kesadaran tanpa kekuasaan, terindjak dan termakan. yang lahir, kering dan mati dengan diam-diam. Namun menjadi permulaan dari pada kehidupan, seperti yang disaksikan oleh Schweit­zer, serta risalah Kan Ying Pien.

Berbagai matjam angkatan tjampur-baur menjadi satu, seperti sambal yang menerbitkan satu rasa, tetapi dengan teropong masih djelas nampak perpisahan an­tara bagian satu dengan yang lain. Namun pentypean sematjam yang tegakkan oleh Remarque tidak memper­lihatkan diri.

Barangkali engkau keberatan dengan kata-kataku itu. Tetapi memang demikian. Tjobalah ikuti tulisan-tulisan angkatan demi angkatan. Angkatan yang muda mentja­tji yang tua, yang muda ditjatji oleh yang lebih muda. Tetapi, kata Ramadhan KH yang pernah aku dengar, angkatan muda ini bila diberi kesempatan, dia kehilangan segala proporsi dan lemih menjadi badut lagi. Artinya badut di lingkungan badut. Tokoh-tokoh pemi­kiran mengetengahkan Wulan Purnomosidhi dan Ada­ tidaknya Tuhan, di dalam kekatjauan sosiologis, ekono­mis dan politis, kultural dan intertual! Apakah kita mesti ikut pukul kaleng untuk membuat segala ini men­jadi bertambah ramai? Sedang anak-anak murid ini telah demikian goiat dengan membanggakan pengeta­huannya tentang para tjabul dan ‘rakjat ketjil’ plus sa­duran Toto Sudarto Bahtiar Tjabul Terhormat karang­an Sartre? Plus Margaretta Gouthier saduran Hamka dari Alexander Dumas Jr. Hamka? ja Hamka.

Achirnya, seperti kata A.S. Dharta, orang-orang da­tang dan berkumpul ke jakarta, menjadi warga jakarta, untuk mempertjepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banyak yang datang tambah tjepat lagi.

Selagi aku belum jadi penduduk jakarta, dambaanku mungkin seperti kau punya. Impian yang indah, bayangan pada pembangunan hari depan. Diri masih pe­nuh diperlengkapi kekuatan, kemampuan dan kepertja­jaan diri. Barangkali bagimu segala itu lebih keras lagi. Karena di daerah bertiup angin: orang takkan jadi warganegara yang 100% sebelum melihat jakarta de­ngan mata kepala sendiri.

Barangkali engkau akan bertanya kepadaku, mengapa tak juga menjingkirkan diri dari jakarta! Ah, kau. Golongan kami adalah sematjam kerbau yang mendarat di tanah tandus. Golongan kami reaksioner di lapangan penghidupan. Sekalipun tandusnya penghidupan golong­an kami, djustru jakartalah yang bisa memberi, seka­lipun hanya remah-remah para pedagang nasional, atau petani pasar minggu. Tambah lama nasi yang sepiring harus dibagi dengan empat-lima anak-anaknya. Dan anak-anak ini akan mengalami masa kehilangan masa kanak-kanak, masa kanak-kanaknya sendiri. Kanak-kanak jakarta yang tak punya lapangan bergerak, tak punya lapangan bermain, tak punya daerah perkem­bangan kedjiwaan, menjurus dari gang dan got, membunuh tiap marga-satwa yang tertangkap oleh matanya. Katak dan ketam dan belut dan burung mengalami lik­widasi, di jakarta! Tetapi nyamuk meradjalela, dan tjitjak dan sampah. juga mereka ini hidup di alam ketaksenangan. Taman-taman hanya di daerah Menteng dan perkampungan baru. Engkau tahu, jadi orang apa ka­nak-kanak sematjam ini jadinya di kemudian hari.

Engku tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: da­erah yang punya taman adalah lahir dan berkembang karena telah menghisap darah daerah yang tak punya taman. Tentu sadja bisikan ini konsekwensi daripada prinsip perdjuangan kelas. Barangkali engkau tak setu­dju, karena ini membawa-bawa politik atau pergeseran kemasjarakatan yang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin juga hanya suatu kedengkian yang tak sehat. Tapi apakah yang dapat kauharapkan dari suatu masjarakat dimana sebahagian besar warganya hidup dalam suasana tak senang, tak ada pegangan, tak ada kepertjajaan pada haridepan! Sedang para pedagang nasional juga tak punya haridepan, karena kemanisan yang diperolehnya harikini diisapnya habis harikini pula, untuk dirinya sendiri tentu, atas nama kenaikan harga tentu, sehingga mereka menjadi para turis di daerah kehidupannya sendiri.

Segala yang buruk berkembang-biak dengan mantiknya di jakarta ini. Segi-segi kehidupan amatlah runtjing­nya dan melukai orang yang tersinggung olehnya. Tetapi wargakota yang sebelum proklamasi bersikap apatis ­— apatisnya seorang hamba — kini kulihat apatisnya orang merdeka dengan djiwa hambanya. Bukan penghinaan, sekalipun suatu peringatan itu kadang-kadang terasa

sebagai penghinaan. Di dalam kehidupan yang tidak menjenangkan apakah yang tak terasa sebagai penghi­naan! Dan tiap titik yang menjenangkan dianggap pudjian, atau setidak-tidaknya setjara subjektif: penga­kuan dari pihak luaran akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa yang memang telah merdeka dan tahu mempergunakan kemerdekaannya. Barangkali engkau menghendaki ketegasan utjapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang wargakota belum lagi 25% bertindak sebagai bangsa merdeka. Anarki ketjil­-ketjilan, sebagaimana mereka dahulu dilahirkan dalam lingkungan yang serba ketjil-ketjil pula: buang sam­pah digot! bandjir tiap hudjan akibatnya; pendudukan tanah orang lain yang disadari benar bukan tanahnya sendiri menurut segala hukum yang ada, sekalipun sah menurut hukum yang dikarang-karangnya sendiri: ketimpangan hak tanah adalah ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesedjahteraan sosial. Mengapa? Kare­na besok atau lusa tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannya sendiri-sendiri. Kedjo­rokan dan kelalaian yang dengan langsung menudju ke pelanggaran ketertiban bersama. Dan jalan-jalan raja serta segala matjam jalanan umum menjadi me­dan permainan Djibril mentjari mangsa. juga ini akibat hati orang tidak senang. Bawah sadarnya bilang: dia tak dilindungi hukum — dia, baik yang melanggar maupun yang dilanggar.

Nah demikianlah jakarta kita, sekian tahun setelah merdeka.

Barangkali engkau mengagumi kaum tjerdik-pandai yang sering diagungkan namanya disurat-suratkabar. Hanya sedikit di antara mereka itu yang benar-benar bekerdja produktif-kreatif. yang lain-lain terpaksa mem­populerkan diri agar tak tumbang dimedan penghidup­an! Apakah yang telah ditemukan oleh universitas Indonesia selama ini yang punya prestasi interna­sional! Di lapangan kepolitikan, apakah pantjasila telah melahirkan suatu kenyataan di mana engkau sadar di hatiketjilmu bahwa kau sudah harus merasa berterimakasih. Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari yang tak terpilih, diutjapkan limabelas kali kata pantjasila itu baik melalui pers, radio, atau mulut orang. Sejalan dengan tradisi pendjadjahan yang selalu dideritakan oleh rakjat kita, maka nampak pula garis-garis yang tegas dalam masa pendjadjahan priaji­-pedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa pondamen. Ah, kawan, kita mengulangi sedjarah ke­gagalan revolusi Perantjis.

Barangkali kau menjesalkan pandanganku yang pessimistis.

Akupun mengerti keberatanmu. Asal sadja kau tidak lupa: sekian tahun merdeka ini belum lagi bitjara apa-apa bagi mereka yang tewas dalam babak pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bitjara tentang iblis-iblis yang haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa juga bitjara tentang iblis-­iblis yang haus akan kurban, akan kaum invalid peng­hidupan dan kehidupan. Dan bila kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan ini merasa tak pernah dirugikan, itulah tanda yang tepat, bahwa iblis itu telah lakukan apa yang dinamai zakelijkheid dengan pintarnya. Dan bila iblis-iblis ini tetap apa yang biasa dinamai badjingan.

Ini bukanlah yang kita kehendaki dengan zakelijkheid!

Ini bukanlah yang kita kehendaki dengan kehidupan kesardjanaan! kepriajian dan perdagangan!

Sardjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mentjari pegangan dalam lalulintas kebendaan di kekinian dan dimasa-masa mendatang. Sardjanamu, sardjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu, politisiku, melihat adanya kesumbangan, dan: titik, stop. juga seperti turis di dalam gelanggang kehidup­annya sendiri.

Barangkali, engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan sjarat ini: ke­kuasaan. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang tahu tjaranya men­dapatkan dan menelannya. Sematjam kutjingmu sen­diri. Sekalipun sedjak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannya daging akan dilahapnya juga. jadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita ini. Segi-segi yang terang aku tak tahu samasekali, karena memang hal itu belum lagi diwahjukan kepada­ku, baik melalui inderaku yang lima-limanya ataupun yang keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam masa kita ini, dyanganlah tiap hal kauanggap mengan­dung kebenaran 100%, dengan menaksir duapuluh prosen pun kau kadang-kadang dihembalang keketje­waan. juga demikian halnya dengan uraianku ini.

Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan djiwamu, karena engkau orang daerah yang djauh dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini. Eng­kau akan berdjasa bila bisa membendung tiap orang yang hendak melahirkan diri dari daerahnya hendak memadatkan jakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat­lah usaha agar tempatmu mempunyai sekolah mene­ngah atas sebanyak mungkin. Dan buatlah tiap sekolah menengah atas itu menjadi bunga bangsamu dike­mudianhari: jadi sumber kegiatan sosial, sumber ke­sedaran politik setjara ilmu, sumber kegiatan pentjip­taan dan latihan kerdja. Pernah aku beri tjeramah di kota kelahiranku dua tahun yang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk berbakti pada masjarakatnya, untuk beladjar berbakti, untuk membelokkannya daripada intelektualisme yang hanya mengetahui tanpa ketjakapan mempergunakan pengetahuannya. Apa ilmu pasti yang mereka terima itu bagi kehidupannya di kemudianhari bila tidak berguna ?

Dyangan kausangka, aku hendak mendiktekan kema­uanku sendiri. Aku kira aku telah tjukup tua untuk menyatakan semua ini kepadamu—engkau yang ku­harapkan jadi pahlawan pembangun daerahmu. juga engkau ada merendahkan petani, karena engkau lahir dari golongan prijaji—pendjadjah petani sepandyang sedjarah pendjadjahan: Djepang, Belanda, Inggris, Mataram, Madjapahit, Sriwidjaja, Mataram dan kera­djaan-keradjaan perompak ketjil yang tidak mempunyai tempat chusus di dalam sedjarah.

Kawan, sebenarnya revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa yang nomogeen, bangsa yang bisa menyalurkan kekuasaan itu sehingga menjadi tenaga pentjipta raksasa, dan bukan menjerbit-njerbit­nya dan melahapnya sehingga habis sampai pada kita, pada rakjat yang ketjil ini. Dari dulu aku telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas yang benar-benar pada tempatnya hanya sedikit, dan suaranya biasa habis punah ditelan agitasi politik — sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi lagi, kalau menyadari gentingnya situasi tanah­airnya dalam lalulintas sedjarah dunia !

Kita mesti kerdja.

Tetapi apa yang mesti kita kerdjakan, bila mereka yang kerdja tak mendapat penghargaan dan hasil seba­gaimana mesti ia terima ?

Aku kira takkan habis-habisnya ngomong tentang jakarta kita, pusat pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknya aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke jakarta untuk menambah djumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Apakah karena itu engkau jadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku: mana yang lebih penting, kemer­dekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme setjara sadar dianggap juga se­bagai kedjahatan atau tidak! Setidak-tidaknya aku tetap berharap kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanya kau melantjong ke ibukota untuk men­tjontoh kefatalan di sini.

Kawan, sekianlah.

jakarta, 17-XII-1955.
Cerpen Pramoedya Ananta Toer

Almanak Seni 1957

Tidak ada komentar: